Puisi di Malam Raya

|

Puisi ini memenangkan juara 2 Kompetisi Cipta Puisi Tingkat Nasional dalam event Praktikum Sastra ke-29 se-Indonesia yang diadakan HIMAPRODI Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Riau 2021 dengan Tema Kebudayaan.


I. S. Nugroho

Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 1 April 2021

Puisi di Malam Raya

begitulah sang rembulan

bersinar elok menghiasi menara keraton

bertengger indah di singgasananya

sedang kami yang tadi sore bersitegang

kini bersila bersebelahan

dan tak henti-hentinya takjub

oleh alunan gending putri-putri bersuara surgawi

dan tetabuhan Niyaga yang kompak

memainkan gamelan berlaras Slendro itu

sementara Sang Dalang tengah khusyuk dengan suluk-suluk

dikawal pasukannya yang lengkap berjejer di kanan dan di kiri

semakin larut dalam lakon yang dibawakan

sedangkan bentangan yang ada di depannya adalah perlambang jagat raya

tempat Dewi Kamaratih dan Batara Kamajaya memadu kasih

sajian harmoni yang kuat menyatukan kami

maka adakah di belahan dunia lain yang menandinginya malam ini?


­­Hari Minggu Pagi

|

 

­­Hari Minggu Pagi

Surakarta, 18 Maret 2021

Sore ini hujan gerimis

aku tatap tetes tetesnya yang turun membasahi halaman depan kamarku

konon gerimis membawa memori masa lalu

 

benar saja

aku tiba tiba teringat masa kecilku

 

saat itu mungkin usiaku 10 tahun

hari minggu pagi tentunya adalah waktu yang menyenangkan dan yang paling ditunggu oleh semua anak umur 10 tahun

tidak ada sekolah

tidak ada perasaan was was dapat amarah guru kala tak bisa mengerjakan soal di depan kelas

tidak ada bangun-tidur-ku-terus-mandi seperti mantra yang sering diucapkan orang-orang dewasa kepada anak anak

seolah hidup harus selalu seperti kata mereka

 

hari minggu pagi

saat usiaku 10 tahun

ada banyak hal yang menyenangkan yang bisa kulakukan

bermain dengan kawan-kawan

menonton kartun

memanjat pohon samping surau

salah satu yang sekarang paling kuingat adalah melihat aktivitas ibu memasak di dapur

dulu tak setiap hari aku bisa melihatnya

sebab kalau bukan minggu pagi

setiap aku dibangunkan selalu sudah siap makanan enak enak di atas meja

entah kapan ibu memasaknya

apakah ibu seorang pesulap seperti yang aku tonton di televisi?

 

tapi saat usiaku 10 tahun

melihat aktivitas ibu memasak di dapur bukanlah hal yang menyenangkan

tidak seperti bermain dengan kawan kawan

menonton kartun

atau memanjat pohon samping surau

karena supaya ibu bisa memasak

aku harus menemani ke pasar krempyeng dekat rumah

aku harus pergi ke warung kalau ada bumbu dapur yang ibu lupa beli di pasar

itu artinya aku harus menghapal daftar belanjaan yang harus aku beli di warung

kalau sampai salah, aku harus kembali ke warung untuk membenarkannya

merepotkan

 

aku juga kadang harus memarut kelapa

menumbuk bumbu

mengambilkan wajan, panci, talenan

apapun yang ibu butuhkan untuk memasak

 

semua itu

aku tidak suka

kegiatan bermainku jadi terbengkalai

tapi untung masakan ibu selalu enak

lebih enak dari masakan siapapun

tetangga, bibiku,

bahkan lebih enak dari makanan di kantin sekolahku

kalah jauh

 

tetap saja aku malas dan kesal di suruh-suruh

sering aku menolak

kalaupun aku membantu ibu sering dengan hati yang kesal

karena

ini hari minggu pagi

hari yang kutunggu tunggu

lama

ini hari yang harus menyenangkan

 

belasan tahun sudah terlewati sejak hari minggu pagi itu

tentunya aku sudah banyak berubah

aku sudah lebih dewasa

mandiri

lebih mengerti

tak lagi tertarik banyak bermain bersama kawan-kawan

menonton kartun

atau memanjat pohon samping surau

sekarang aku tak lagi malas membantu ibu

aku akan selalu siap ketika ibu membutuhkanku

apapun

sebut saja

pasti akan jadi nomor satu

aku laksanakan sekarang juga

 

tapi sayangnya

ketika aku lihat lagi rintik hujan yang belum juga reda sore ini

ibu sudah pergi

 

 

Mencari Esensi Kebahagiaan

|

Mencari Esensi Kebahagiaan

Catatan filsuf gadungan

Jumat, 29 Januari 2021

Hari demi hari kita bekerja, berletih-letih mengejar apa yang kita kira bisa membuat kita bahagia. Melihat teman yang nampak bahagia, berkatalah kita

“Alangkah bahagianya dia.”

Lalu kita ingin mendapatkan hal yang serupa agar bisa segera bahagia.

Begitu juga untuk hal-hal yang lain.

 “Sepertinya aku akan bahagia kalau seperti ini.”

Setiap detik kita berlari menuju titik yang kita kira akan ada bahagia di sana. Titik demi titik kita hampiri, mungkin saja memang ada bahagia di sana. Tapi juga mungkin saja tidak.

Kita akan berhenti ketika kita tua dan hampir mati. Pertanyaan seperti apa rupa bahagia mungkin saja terjawab saat itu. Tapi celakaya bila ternyata di saat itu pun kita masih saja berprasangka

“Alangkah bahagianya dia.”

Dan kita masih saja mengira

“Sepertinya aku akan bahagia kalau seperti itu”

Tidak bisakah kita bahagia sepanjang waktu? Sebentar saja?

Padahal di luar sana bisa saja ada banyak orang yang kita kira nampak sengsara, padahal mereka sedang merasakan nikmatnya bahagia setiap hari.

Mata kepalaku melihat sendiri, ada guru di perbatasan yang dibayar ala kadarnya, yang sehari-hari hanya makan singkong goreng dan ikan kayu. Ku kira ia akan menderita dan mengeluh sepanjang hari. Tapi ternyata aku justru belajar apa arti bahagia. Ia bahagia sebab merasakan cinta dari ribuan anak dan orang-orang di sekelilingnya.

Atau seseorang yang setiap hari kehabisan waktunya untuk menyampaikan kebaikan ke banyak-banyak tempat dan orang, tapi sangat bahagia karena merasa telah mengabdi dan berbakti kepada Tuhannya.

Lalu bila kita jauh dari kesusahan layaknya mereka, kenapa tak kita putuskan untuk bahagia saja sekarang? Mengapa harus menunggu lulus kuliah, punya pekerjaan, punya banyak uang, punya banyak waktu dulu untuk bahagia?

Bahagia kadang sesederhana itu. Jangan-jangan kita tidak bisa bahagia karena terjebak dengan konsep bahagia kita sendiri yang terlalu rumit. Marilah mengingat bahwa setiap hari kita telah banyak diberi olehNya. Apakah banyak pemberian itu belum cukup untuk membuat kita bahagia? 

Barangkali di hari tua nanti kita baru sadar bahwa di dunia tempat kita hidup sekarang ini, ternyata memang tiada yang namanya kebahagiaan sejati. Kalau ia tak bersemayam di jiwa kita hari ini, mungkin saja ia telah rapi tersimpan di kehidupan setelah mati nanti. Barangkali..


Sisi Lain Kasus Novel Baswedan

|


I. S. Nugroho
Mranggen, 15 Juni 2020
Saya mencoba menelisik sebuah sisi dari sudut pandang anti-mainstream seorang mahasiswa-pendidikan-kimia, dari kasus penyiraman “air keras” kepada seorang kakak kelas SMA yang terpaut puluhan tahun, Novel Baswedan.

Sebelum mulai menjabarkan hal jelimet nan absurd di kepala saya, saya telah ‘tahu’ sosok Novel Baswedan jauh sebelum mata kirinya divonis tidak lagi berfungsi dan mata kanannya hanya bisa berfungsi setengah dari semula. Sepak terjangnya dalam upaya pemberantasan kasus korupsi tak perlu diragukan lagi, sehingga banyak publik mengenalnya, ya termasuk saya ini. Suatu hari kala masih berseragam putih-abu, begitu saya dan teman-teman seperkumpulan mengetahui beliau adalah lulusan dari almamater yang sama, rasanya semangat bersekolah meningkat. Bukan semata-mata semangat menuntut ilmu dan bermimpi menjadi ‘orang besar’, tetapi juga semangat beliau untuk berpihak kepada kebaikan seakan seketika tertular kepada kami. Terlebih menurut guru di sekolah menengah atas itu, kami sama-sama berasal dari ­circle aktivitas luar kelas yang sama. Sebutlah Rohis Smanda, yang mungkin zaman Novel Baswedan namanya berbeda. Ada kebanggan tersendiri.

Hari-hari terakhir ini di berbagai media massa, ramai membincangkan tuntutan jaksa di kasus penyiraman air keras ke wajah Novel yang merupakan seorang penyidik senior KPK, yang tuntutan itu dianggap masyarakat terlalu ringan. Kasus ini sendiri sebelumnya telah menimbulkan berbagai pro-kontra di tengah masyarakat. Ada yang memperdebatkan tuntutan jaksa yang biasanya memberatkan terdakwa dan memihak korban, tetapi di kasus ini seakan ringan dan banyak keanehan.  Ada yang memperdebatkan apa sebenarnya barang cair yang disiramkan ke matanya. Sampai-sampai ada yang memperdebatkan kebenaran kasus ini. Benarkah Novel Baswedan di siram air keras sehingga sekarang matanya rusak? Gendeng!

Menurut saya pribadi kasus ini jelas. Apalagi perkara penyiraman air keras dan cacat yang di derita Novel kini. Menurut saya kasus ini telah dimuati kepentingan politis sehingga banyak counter terhadap upaya pengungkapan kasus ini. Akibatnya, banyak pertanyaan penting yang kini menjadi sulit terjawab. Mulai latar belakang masalahnya, metodologi, sampai kesimpulannya. (Loh kok kaya skripsi), termasuk pertanyaan yang belum terungkap adalah siapa dalang intelektual semua ini. Pernyataan kedua anggota polisi yang di-tersangka-kan tentu sulit memuaskan publik. Sebab sulit dicari keterkaitan antara dua orang itu dan Novel Baswedan. Terlebih, mereka berdua bukanlah “level” seorang Novel. Tentu pantas bila sebagian publik menduga-duga ada dalang yang minimal levelnya setara dengan novel mengingat Novel adalah penyidik kasus-kasus korupsi kelas kakap. Segala sesuatu selama pengungkapan kasus ini pun di anggap banyak kejanggalan, terutama tuntutan dan statement jaksa yang menyebut pelaku tidak sengaja melukai wajah Novel Baswedan belakangan ini.

Yang menjadi fokus tulisan ini bukan perkara sengaja atau tidaknya pelaku mencederai mata Novel Baswedan. Atau perkara pantas tidaknya tuntutan 1 tahun oleh jaksa kepada pelaku seperti yang banyak diperdebatkan. Sebab jangankan menyoal hukum, perihal pendidikan dan kimia saja yang menjadi sesuatu yang saya pelajari beberapa tahun terakhir saya masih merasa fakir ilmu tentangnya. Tetapi setidaknya sebagai seorang pembelajar, ada satu hal yang bisa saya telisik menurut kacamata saya. Adalah (salah satunya) peran ilmu pengetahuan dalam kasus ini.

Misalkan, salah satu hal yang diperdebatkan publik adalah apakah benar Novel disiram air keras? Saya jadi teringat beberapa tahun silam ketika masih menjadi remaja yang labil, di televisi dihebohkan dengan kasus Kopi Sianida. Hampir semua rakyat Indonesia tahu kasus ini, sebab persidangan di siarkan live di TV berpekan-pekan. Masyarakat seakan punya alternative tontonan selain sinetron. Atau bahkan ada yang menganggap kasus ini persis sinetron sehingga menarik untuk dilihat episode demi episode dari persidangan ini. Bagi saya ada hal yang menarik dari pengungkapan kasus ini. Saya tidak ingin membahas hasil akhirnya tetapi dalam prosesnya.  Dimana persidangan kasus Kopi Sianida sempat memanggil beberapa orang ahli untuk membantu mengungkap kasus ini. Sebutlah ahli kedokteran forensic dan ahli kimia-toksikologi. Mungkin hal serupa juga selalu dilakukan dalam setiap persidangan, saya awam. Tapi dari sini lah saya mencoba melihat sisi lain yang saya maksud itu.

Sekali lagi saya awam terkait masalah hukum. Tapi melihat hakim, jaksa, pengacara pelonga pelongo ketika dijejali perhitungan dan penjelasan kimia atau penjelasan dari dokter forensik, momen persidangan Kopi Sianida sungguh menggelitik. Menarik. Bahwa seperti inilah seharusnya. Tidak hanya dalam persidangan, yang tentunya kita harap di kemudian hari hadir juga para ahli yang bisa membantu mengungkap fakta kasus Novel, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Libatkanlah ahlinya. Sehingga paling tidak hilang satu demi satu perdebatan di kalangan masyarakat yang awam akan segalanya. Sehingga statement ini-itu keluar dari ahli berdasarkan observasi dan analisis berdasarkan basis keahliannya. Karena barangkali segala perdebatan baik untuk kasus ini atau hal-hal yang lain muncul karena statement dari orang yang tidak semestinya mengeluarkan statement karena tidak sesuai keahliannya atau bukan kapasitasnya.

Selain meminimalisasi perdebatan di tengah masyarakat, peran ahli juga akan mengikis kebodohan sebab inilah salah satu bentuk pendidikan bagi masyarakat. Masyarakat menjadi paham siapa yang layak untuk dipercaya dalam suatu perkara. Masyarakat tidak mudah terprovokasi karena statement dari sembarang orang yang tidak bertanggungjawab yang bukan ahli di bidangnya. Masyarakat juga tidak mudah tersesat dalam miskonsepsi terhadap suatu hal. Apalagi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Lebih parah lagi, memainkan peran ahli akan sangat diperlukan, bilamana ternyata kondisi seperti ini memang sengaja diciptakan untuk kepentingan politik, menjatuhkan lawan atau mencelakakan orang dengan “aman”.

Perdebatan yang terjadi dalam kasus Novel Baswedan sudahlah cukup menjadi bukti bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya dewasa dan kompeten menyikapi suatu hal. Belum begitu baik merespon suatu kasus. Atau juga belum sepenuhnya bisa menentukan sumber-sumber yang seharusnya dipercaya. Sebab sekalipun yang berpendapat adalah pejabat publik, seringkali statement mereka tidak berdasarkan ilmu pengetahuan, mengedepankan dugaan-dugaan, dan keluar dari bidang keahlian atau kapasitasnya. Bahkan kerap kali bermuatan politik, saling memihak, dan tidak objektif. Sekali lagi, untuk itu melibatkan ahli dalam segala sesuatu adalah bentuk pendidikan bagi masyarakat.

Perdebatan yang terjadi pada kasus Novel juga cukup menjadi bukti bahwa pendidikan tidak berjalan dengan cukup baik. Katakanlah tingkat pendidikan orang tua kebanyakan memang masih rendah sehingga tidak memahami (misal) apa itu air keras dan bagaimana dampaknya kepada tubuh manusia. Tapi mereka memiliki anak anak yang sekolah, memiliki guru (dalam hal ini guru kimia) yang seharusnya bisa memberikan pencerahan kepada anak didiknya, sehingga anak didiknya juga bisa memberikan pencerahan kepada orang tuanya. Seringkali sekolah atau guru tidak memainkan perannya dengan baik. Guru tidak memberikan pengetahuan terkait permasalahan kontemporer yang relevan dengan apa yang sedang terjadi saat ini kepada anak didiknya. Sehingga miskonsepsi terkait hal-hal yang sedang terjadi di masyarakat seperti contohnya kasus Kopi Sianida atau kasus Novel Baswedan terjadi. Kesalah-pahaman atau ketidak tahuan masyarakat terkait sesuatu hal dalah faktor yang sering kali memunculkan perdebatan, menguras banyak energi.

Begitulah pendapat saya terkait dengan peran guru untuk mencerdaskan dan memberi pendidikan kepada masyarakat secara lebih luas, sehingga bukan sekadar formalitas di dalam kelas. Sebab menurut seorang guru saya di kampus, di sinilah letak perbedaan praktis yang mendasar antara orang yang mempelajari  ilmu kimia murni dan ilmu pendidikan kimia. Yang satu mengembangkan ilmu pengetahuan kimia untuk memeras manfaat yang bisa di rasakan masyarakat, yang satu berperan untuk memahamkan masyarakat tentang kimia itu sendiri. Sehingga sederhananya beliau mencontohkan tidak ada lagi tulisan di kantin sekolah “Kantin ini bebas dari bahan-bahan kimia”, tulisan yang menjadi kritik untuk sekolah dan guru kimia selama ini. Begitu pula untuk bidang keahlian yang lain.

Singkatnya dari kasus Novel Baswedan saya melihat satu sisi lain dari kacamata saya bahwa ada banyak peran yang tidak atau belum atau jarang dimainkan sehingga masyarakat mudah ribut, berdebat kusir dan terprovokasi. Juga munculnya kebijakan yang keliru sebab mengabaikan peran ahli dalam suatu hal. Sebagaimana amanat B.J. Habibie yang berpesan untuk mulai bernegara dengan berdasarkan pengetahuan.

 Sudah saatnya masing-masing kita memainkan peran sesuai bidang keahlian masing-masing, menyerahkan dan mempercayai segala sesuatu kepada ahlinya, dan terpenting memahami apa peran kita sendiri. Dengan memahami hal tersebut, kita bisa memulai dari diri kita sendiri untuk lebih dewasa dalam bermasyarakat. Tidak mudah terprovokasi, mempercayai sembarang orang, berdebat tanpa ilmu dsb. Tentunya ini adalah autokritik bagi diri saya sendiri yang miskin ilmu serta adab. Semoga Allah menjaga kita semua, melembutkan dan membersihkan hati-hati kita, supaya kita lebih jernih dalam bertindak. Ya Allah ampunilah hambamu ini. Wallahu a’lam.

(Permasalahan lain yang mengikuti adalah adanya ahli yang bermental pelacur. akan ditulis lain kali. Tulisan ini nantinya hanya akan berdasarkan pengalaman saya pribadi.)

Ada Apa dengan Pendidikan Kita?

|

Sebuah refleksi dan opini yang bisa diperdebatkan. Namun akui saja kalau ini benar.

     Tumbuh suburnya bimbingan belajar (bimbel) di Indonesia adalah indikasi bahwa ada masalah pada pendidikan kita. Sebab yang guru-guru bimbel atau les sampaikan kepada customernya adalah hal yang sama, yang sudah pernah disampaikan oleh para guru di Sekolah. Maka dapat kita simpulkan bahwa kebanyakan guru tidak cukup mampu untuk memberikan pemahaman kepada siswa soal materi atau sebaliknya, siswa merasa kurang dengan guru yang katanya mendapat tunjangan tinggi dari sertifikasi.

Sumber gambar: http://www.voa-islam.com 


     Mirisnya sebagian guru sekolah merangkap pula jadi guru les atau bimbel. Siswanya sendiri mau ikut? BAYAR! Malah ada yang terang-terangan membuka kelas tambahan untuk siswa nya yang mau bayar. Ckckck.. ibarat supir angkot yang mengantar sampai terminal, lalu minta ongkos tambahan kalau si penumpang mau diantar sampai rumah. Kalau dipakai analogi itu, seharusnya guru bukanlah supir angkot. Dia adalah pelayan yang mengantar siswa benar benar sampai tujuannya, sebab itu memang sudah tugasnya.

     Maka pendidikan kita atau lebih tepatnya sekolah dan guru tak benar-benar ingin memberikan nilai-nilai kepada siswa, atau tak sungguh-sungguh ingin membentuk siswa sesuai dengan kompetesi yang diharapkan. Jika yang disasar selama menjadi guru adalah semata tunjangan dan uang tambahan dari adanya bimbel, sudahlah! Tak perlu berharap pendidikan kita maju.

     Sebagai contoh, (butuh data konkrit meskipun sudah jelas) pelajar kita yang punya kompetensi berbahasa asing yang baik, sangatlah jarang kemampuannya itu terbentuk dari pendidikan yang ia dapat di sekolah. Variatif, mereka bisa saja ikut bimbingan belajar bahasa asing, kursus, belajar secara autodidak (dari film, games dsb) dan lain lain yang jelas tidak berasal dari kegiatan persekolahan. Padahal mata pelajaran Bahasa Inggris menurut pengalaman saya sudah di berikan ketika kelas 4 Sekolah Dasar. Jika itu diberikan terus menerus sampai 12 SMA maka ada waktu 8 TAHUN untuk membuat pelajar kita bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tapi apa yang terjadi? (data).

     Sederhananya, ketika kita sadar betul bahwa suatu kompetensi itu harus dimiliki oleh pelajar kita, mengapa itu tak sungguh-sungguh diberikan kepada mereka? Maka disini kita melihat bahwa sekolah kita kebanyakan belum bisa menjadi pemuas hasrat untuk melahirkan generasi yang berkompetensi tinggi.

     Pada akhirnya, kembali lagi pendidikan yang kita selenggarakan saat ini faktanya belumlah bisa menjadi alat andalan yang bisa dipergunakan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Kalau bimbel terus menerus dianggap lebih baik dari sekolah dalam hal ini, maka tak usah berharap muluk-muluk dari sekolah, selain dari sekadar selembar ijasah.

Surakarta, 19 September 2018
I. S. Nugroho


Kutemukan Sebuah Konklusi

|


Ada kalanya yang ku kisahkan adalah diriku sendiri
Tentang cinta, Tentang luka
Tentang kau

Ia yang kau cinta akan selalu di hati, meski tak lagi di sisi
Maka usah lagi kau tulis kata-kata sendu, puisi patah hati
Aku akan ada disini selalu untukmu
Sebab paradoks ini memang sudah ku akhiri
Ya seperti ini
Meski hanya aku sendiri yang mengerti

Kutemukan Sebuah Konklusi
Demak, 1 Juli 2017
I. S. Nugroho

Pergi

|
Layarku telah mengembang. Bahteraku mulai bergerak meninggalkan pantaimu, menuju daratan selanjutnya. Tepat ketika ku akhiri seluruh paradoks ini, aku berharap kau menemukan bahagia yang sejati disana. Kebahagian yang ku lihat kau perjuangkan dengan kesungguhan yang besar. Kau tahu, aku merasa kau benar-benar pantas mendapatkannya. Maka sambutlah salam pisah dari bahtera ini dengan senyuman yang lebar. Sebab kau telah temukan bahagia itu, dan aku akan berlayar dengan lega karenanya.
Angin pun berembus dengan tanpa interupsi..
Yakinlah bila memang telah dituliskan, angin ini lah yang akan membawa bahteraku kembali ke pantaimu lagi. Kita bersua lagi..
Namun bahteraku tak sedang mencari tempat untuk singgah. Ia mencari tempat untuk menetap, merapat disana untuk menikmati sisa seluruh angin yang masih berembus..

      PERGI
I. S. Nugroho
Surakarta, 7 Mei 2017