Sebuah refleksi dan opini yang bisa diperdebatkan. Namun akui saja
kalau ini benar.
Tumbuh suburnya bimbingan belajar (bimbel) di Indonesia adalah
indikasi bahwa ada masalah pada pendidikan kita. Sebab yang guru-guru bimbel
atau les sampaikan kepada customernya adalah hal yang sama, yang sudah pernah
disampaikan oleh para guru di Sekolah. Maka dapat kita simpulkan bahwa
kebanyakan guru tidak cukup mampu untuk memberikan pemahaman kepada siswa soal
materi atau sebaliknya, siswa merasa kurang dengan guru yang katanya mendapat
tunjangan tinggi dari sertifikasi.
Sumber gambar: http://www.voa-islam.com
Mirisnya sebagian guru sekolah merangkap pula jadi guru les atau bimbel. Siswanya
sendiri mau ikut? BAYAR! Malah ada yang terang-terangan membuka kelas
tambahan untuk siswa nya yang mau bayar. Ckckck.. ibarat supir angkot yang
mengantar sampai terminal, lalu minta ongkos tambahan kalau si penumpang mau diantar
sampai rumah. Kalau dipakai analogi itu, seharusnya guru bukanlah supir angkot.
Dia adalah pelayan yang mengantar siswa benar benar sampai tujuannya, sebab itu
memang sudah tugasnya.
Maka pendidikan kita atau lebih tepatnya sekolah dan guru tak
benar-benar ingin memberikan nilai-nilai kepada siswa, atau tak sungguh-sungguh
ingin membentuk siswa sesuai dengan kompetesi yang diharapkan. Jika yang
disasar selama menjadi guru adalah semata tunjangan dan uang tambahan dari
adanya bimbel, sudahlah! Tak perlu berharap pendidikan kita maju.
Sebagai contoh, (butuh data konkrit meskipun sudah jelas) pelajar
kita yang punya kompetensi berbahasa asing yang baik, sangatlah jarang
kemampuannya itu terbentuk dari pendidikan yang ia dapat di sekolah. Variatif,
mereka bisa saja ikut bimbingan belajar bahasa asing, kursus, belajar secara
autodidak (dari film, games dsb) dan lain lain yang jelas tidak berasal dari kegiatan
persekolahan. Padahal mata pelajaran Bahasa Inggris menurut pengalaman saya
sudah di berikan ketika kelas 4 Sekolah Dasar. Jika itu diberikan terus menerus
sampai 12 SMA maka ada waktu 8 TAHUN untuk membuat pelajar kita bisa berbahasa
Inggris dengan baik. Tapi apa yang terjadi? (data).
Sederhananya, ketika
kita sadar betul bahwa suatu kompetensi itu harus dimiliki oleh pelajar kita,
mengapa itu tak sungguh-sungguh diberikan kepada mereka? Maka disini kita
melihat bahwa sekolah kita kebanyakan belum bisa menjadi pemuas hasrat untuk melahirkan
generasi yang berkompetensi tinggi.
Pada akhirnya, kembali lagi pendidikan yang kita selenggarakan saat
ini faktanya belumlah bisa menjadi alat andalan yang bisa dipergunakan untuk mencapai
tujuan dari pendidikan itu sendiri. Kalau bimbel terus menerus dianggap lebih
baik dari sekolah dalam hal ini, maka tak usah berharap muluk-muluk dari sekolah,
selain dari sekadar selembar ijasah.
Surakarta, 19 September 2018
I. S. Nugroho
0 komentar:
Posting Komentar