Sisi Lain Kasus Novel Baswedan

|


I. S. Nugroho
Mranggen, 15 Juni 2020
Saya mencoba menelisik sebuah sisi dari sudut pandang anti-mainstream seorang mahasiswa-pendidikan-kimia, dari kasus penyiraman “air keras” kepada seorang kakak kelas SMA yang terpaut puluhan tahun, Novel Baswedan.

Sebelum mulai menjabarkan hal jelimet nan absurd di kepala saya, saya telah ‘tahu’ sosok Novel Baswedan jauh sebelum mata kirinya divonis tidak lagi berfungsi dan mata kanannya hanya bisa berfungsi setengah dari semula. Sepak terjangnya dalam upaya pemberantasan kasus korupsi tak perlu diragukan lagi, sehingga banyak publik mengenalnya, ya termasuk saya ini. Suatu hari kala masih berseragam putih-abu, begitu saya dan teman-teman seperkumpulan mengetahui beliau adalah lulusan dari almamater yang sama, rasanya semangat bersekolah meningkat. Bukan semata-mata semangat menuntut ilmu dan bermimpi menjadi ‘orang besar’, tetapi juga semangat beliau untuk berpihak kepada kebaikan seakan seketika tertular kepada kami. Terlebih menurut guru di sekolah menengah atas itu, kami sama-sama berasal dari ­circle aktivitas luar kelas yang sama. Sebutlah Rohis Smanda, yang mungkin zaman Novel Baswedan namanya berbeda. Ada kebanggan tersendiri.

Hari-hari terakhir ini di berbagai media massa, ramai membincangkan tuntutan jaksa di kasus penyiraman air keras ke wajah Novel yang merupakan seorang penyidik senior KPK, yang tuntutan itu dianggap masyarakat terlalu ringan. Kasus ini sendiri sebelumnya telah menimbulkan berbagai pro-kontra di tengah masyarakat. Ada yang memperdebatkan tuntutan jaksa yang biasanya memberatkan terdakwa dan memihak korban, tetapi di kasus ini seakan ringan dan banyak keanehan.  Ada yang memperdebatkan apa sebenarnya barang cair yang disiramkan ke matanya. Sampai-sampai ada yang memperdebatkan kebenaran kasus ini. Benarkah Novel Baswedan di siram air keras sehingga sekarang matanya rusak? Gendeng!

Menurut saya pribadi kasus ini jelas. Apalagi perkara penyiraman air keras dan cacat yang di derita Novel kini. Menurut saya kasus ini telah dimuati kepentingan politis sehingga banyak counter terhadap upaya pengungkapan kasus ini. Akibatnya, banyak pertanyaan penting yang kini menjadi sulit terjawab. Mulai latar belakang masalahnya, metodologi, sampai kesimpulannya. (Loh kok kaya skripsi), termasuk pertanyaan yang belum terungkap adalah siapa dalang intelektual semua ini. Pernyataan kedua anggota polisi yang di-tersangka-kan tentu sulit memuaskan publik. Sebab sulit dicari keterkaitan antara dua orang itu dan Novel Baswedan. Terlebih, mereka berdua bukanlah “level” seorang Novel. Tentu pantas bila sebagian publik menduga-duga ada dalang yang minimal levelnya setara dengan novel mengingat Novel adalah penyidik kasus-kasus korupsi kelas kakap. Segala sesuatu selama pengungkapan kasus ini pun di anggap banyak kejanggalan, terutama tuntutan dan statement jaksa yang menyebut pelaku tidak sengaja melukai wajah Novel Baswedan belakangan ini.

Yang menjadi fokus tulisan ini bukan perkara sengaja atau tidaknya pelaku mencederai mata Novel Baswedan. Atau perkara pantas tidaknya tuntutan 1 tahun oleh jaksa kepada pelaku seperti yang banyak diperdebatkan. Sebab jangankan menyoal hukum, perihal pendidikan dan kimia saja yang menjadi sesuatu yang saya pelajari beberapa tahun terakhir saya masih merasa fakir ilmu tentangnya. Tetapi setidaknya sebagai seorang pembelajar, ada satu hal yang bisa saya telisik menurut kacamata saya. Adalah (salah satunya) peran ilmu pengetahuan dalam kasus ini.

Misalkan, salah satu hal yang diperdebatkan publik adalah apakah benar Novel disiram air keras? Saya jadi teringat beberapa tahun silam ketika masih menjadi remaja yang labil, di televisi dihebohkan dengan kasus Kopi Sianida. Hampir semua rakyat Indonesia tahu kasus ini, sebab persidangan di siarkan live di TV berpekan-pekan. Masyarakat seakan punya alternative tontonan selain sinetron. Atau bahkan ada yang menganggap kasus ini persis sinetron sehingga menarik untuk dilihat episode demi episode dari persidangan ini. Bagi saya ada hal yang menarik dari pengungkapan kasus ini. Saya tidak ingin membahas hasil akhirnya tetapi dalam prosesnya.  Dimana persidangan kasus Kopi Sianida sempat memanggil beberapa orang ahli untuk membantu mengungkap kasus ini. Sebutlah ahli kedokteran forensic dan ahli kimia-toksikologi. Mungkin hal serupa juga selalu dilakukan dalam setiap persidangan, saya awam. Tapi dari sini lah saya mencoba melihat sisi lain yang saya maksud itu.

Sekali lagi saya awam terkait masalah hukum. Tapi melihat hakim, jaksa, pengacara pelonga pelongo ketika dijejali perhitungan dan penjelasan kimia atau penjelasan dari dokter forensik, momen persidangan Kopi Sianida sungguh menggelitik. Menarik. Bahwa seperti inilah seharusnya. Tidak hanya dalam persidangan, yang tentunya kita harap di kemudian hari hadir juga para ahli yang bisa membantu mengungkap fakta kasus Novel, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Libatkanlah ahlinya. Sehingga paling tidak hilang satu demi satu perdebatan di kalangan masyarakat yang awam akan segalanya. Sehingga statement ini-itu keluar dari ahli berdasarkan observasi dan analisis berdasarkan basis keahliannya. Karena barangkali segala perdebatan baik untuk kasus ini atau hal-hal yang lain muncul karena statement dari orang yang tidak semestinya mengeluarkan statement karena tidak sesuai keahliannya atau bukan kapasitasnya.

Selain meminimalisasi perdebatan di tengah masyarakat, peran ahli juga akan mengikis kebodohan sebab inilah salah satu bentuk pendidikan bagi masyarakat. Masyarakat menjadi paham siapa yang layak untuk dipercaya dalam suatu perkara. Masyarakat tidak mudah terprovokasi karena statement dari sembarang orang yang tidak bertanggungjawab yang bukan ahli di bidangnya. Masyarakat juga tidak mudah tersesat dalam miskonsepsi terhadap suatu hal. Apalagi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Lebih parah lagi, memainkan peran ahli akan sangat diperlukan, bilamana ternyata kondisi seperti ini memang sengaja diciptakan untuk kepentingan politik, menjatuhkan lawan atau mencelakakan orang dengan “aman”.

Perdebatan yang terjadi dalam kasus Novel Baswedan sudahlah cukup menjadi bukti bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya dewasa dan kompeten menyikapi suatu hal. Belum begitu baik merespon suatu kasus. Atau juga belum sepenuhnya bisa menentukan sumber-sumber yang seharusnya dipercaya. Sebab sekalipun yang berpendapat adalah pejabat publik, seringkali statement mereka tidak berdasarkan ilmu pengetahuan, mengedepankan dugaan-dugaan, dan keluar dari bidang keahlian atau kapasitasnya. Bahkan kerap kali bermuatan politik, saling memihak, dan tidak objektif. Sekali lagi, untuk itu melibatkan ahli dalam segala sesuatu adalah bentuk pendidikan bagi masyarakat.

Perdebatan yang terjadi pada kasus Novel juga cukup menjadi bukti bahwa pendidikan tidak berjalan dengan cukup baik. Katakanlah tingkat pendidikan orang tua kebanyakan memang masih rendah sehingga tidak memahami (misal) apa itu air keras dan bagaimana dampaknya kepada tubuh manusia. Tapi mereka memiliki anak anak yang sekolah, memiliki guru (dalam hal ini guru kimia) yang seharusnya bisa memberikan pencerahan kepada anak didiknya, sehingga anak didiknya juga bisa memberikan pencerahan kepada orang tuanya. Seringkali sekolah atau guru tidak memainkan perannya dengan baik. Guru tidak memberikan pengetahuan terkait permasalahan kontemporer yang relevan dengan apa yang sedang terjadi saat ini kepada anak didiknya. Sehingga miskonsepsi terkait hal-hal yang sedang terjadi di masyarakat seperti contohnya kasus Kopi Sianida atau kasus Novel Baswedan terjadi. Kesalah-pahaman atau ketidak tahuan masyarakat terkait sesuatu hal dalah faktor yang sering kali memunculkan perdebatan, menguras banyak energi.

Begitulah pendapat saya terkait dengan peran guru untuk mencerdaskan dan memberi pendidikan kepada masyarakat secara lebih luas, sehingga bukan sekadar formalitas di dalam kelas. Sebab menurut seorang guru saya di kampus, di sinilah letak perbedaan praktis yang mendasar antara orang yang mempelajari  ilmu kimia murni dan ilmu pendidikan kimia. Yang satu mengembangkan ilmu pengetahuan kimia untuk memeras manfaat yang bisa di rasakan masyarakat, yang satu berperan untuk memahamkan masyarakat tentang kimia itu sendiri. Sehingga sederhananya beliau mencontohkan tidak ada lagi tulisan di kantin sekolah “Kantin ini bebas dari bahan-bahan kimia”, tulisan yang menjadi kritik untuk sekolah dan guru kimia selama ini. Begitu pula untuk bidang keahlian yang lain.

Singkatnya dari kasus Novel Baswedan saya melihat satu sisi lain dari kacamata saya bahwa ada banyak peran yang tidak atau belum atau jarang dimainkan sehingga masyarakat mudah ribut, berdebat kusir dan terprovokasi. Juga munculnya kebijakan yang keliru sebab mengabaikan peran ahli dalam suatu hal. Sebagaimana amanat B.J. Habibie yang berpesan untuk mulai bernegara dengan berdasarkan pengetahuan.

 Sudah saatnya masing-masing kita memainkan peran sesuai bidang keahlian masing-masing, menyerahkan dan mempercayai segala sesuatu kepada ahlinya, dan terpenting memahami apa peran kita sendiri. Dengan memahami hal tersebut, kita bisa memulai dari diri kita sendiri untuk lebih dewasa dalam bermasyarakat. Tidak mudah terprovokasi, mempercayai sembarang orang, berdebat tanpa ilmu dsb. Tentunya ini adalah autokritik bagi diri saya sendiri yang miskin ilmu serta adab. Semoga Allah menjaga kita semua, melembutkan dan membersihkan hati-hati kita, supaya kita lebih jernih dalam bertindak. Ya Allah ampunilah hambamu ini. Wallahu a’lam.

(Permasalahan lain yang mengikuti adalah adanya ahli yang bermental pelacur. akan ditulis lain kali. Tulisan ini nantinya hanya akan berdasarkan pengalaman saya pribadi.)

0 komentar:

Posting Komentar