Ebiet G. Ade. Sang Maestro yang Membuat Selera Musikku Berbeda.
Kamis, 18 Juni 2015. Dihari pertama bulan yang kucintai..
Ramadhan..
Iman Sri Nugroho
Iman Sri Nugroho
Bismillah.. Musik adalah bahasa universal
yang mampu dipahami oleh siapa saja yang mendengarnya dengan hati. Dari waktu
kewaktu, masa berganti masa, seluruh yang ada hubungannya dengan kehidupan
manusia pasti mengalami perkembangan dan perubahan, begitu pula dengan musik.
Selera manusia setiap zaman akan berubah, pun begitu dengan selera mereka
terhadap musik. Jika beberapa tahun yang lalu jagad musik Indonesia diramaikan
dengan bermunculannya boyband-girlband lokal dengan gaya sok kekorea-koreaan –saat itu ada wabah
demam korea hehe, maka bila kita mau sedikit saja peduli, keberadaan mereka
saat ini bahkan tidak diketahui duh..duh..duh..
Dari yang saya ingat selaku penikmat dunia
hiburan khususnya musik, boyband lokal yang paling pertama dikenal adalah Smash
( atau kadang ada yang menulisnya Sm*sh ). Lewat singlenya bertajuk ‘I Heart
You’ kala itu, sekaligus dibekali dengan penampilan tampan-melambai identik
gaya personil boyband Korea, mereka
mampu dengan mudah membius kaum hawa khususnya remaja meski dengan modal suara
yang pas-pasan. *Ups..
Boyband dengan tujuh personil itulah
(kalau tidak salah ya), yang menjadi perintis jalan bagi boyband lain bahkan
girlband untuk menancapkan kuku-taring persaingan di industri musik tanah air.
Tentu banyak tanggapan negatif terhadap kemunculan mereka -yang meski langsung
dibalas mati-matian oleh para penggemar fanatiknya. Banyak yang menilai mereka
‘aji mumpung’, hanya memanfaatkan situasi mewabahnya produk musik asing –yang menamai
aliran musiknya dengan ‘K-Pop’ di setiap penjuru tanah air. Mulai di angkot,
sekolahan, radio, restourant,
Supermarket, sampai Minimarket memutarnya. Mulai dari anak-anak sekolah
–PAUD, SD, SMP, SMA, sampai anak yang putus sekolah, ibu-ibu kantoran –yang
kantornya di ujung gedung bertingkat yang kerjanya mendiskusikan hal-hal
penting dan memusingkan kepala, sampai yang kantornya cukup di rumah dan
pekerjaan rutinnya hanya mendiskusikan anak tetangga yang ibunya kerja di
kantor ujung gedung bertingkat (re: ngrumpi), dengan senang hati mendengarkannya.
Kecuali mungkin pedagang yang membuka lapak di pasar krempyeng belakang rumah
yang nampaknya sangat konsisten memutar lagu Rhoma Irama dengan Sonetanya
sebagai pengiring sekaligus hiburan di tengah kebingungannya menghadapi
pembeli. Sungguh.. Sungguh menyimpang dari topik. Hehe.. Maafkanlah daku..
Ehm.. dan komentar sinis itu agaknya
benar, toh saat ini sangat sedikit sekali dari mereka yang berhasil bertahan di
persaingan dunia hiburan dengan identitas mereka. Mungkin hanya sang pionir Smash,
yang saat ini masih kedapatan oleh penulis mondar mandir di beberapa stasiun
tv. Meski dengan intensitas yang tak seperti dulu, dan pekerjaan yang tampaknya
seringkali berubah menjadi host bahkan
pelawak dadakan. Dan hanya beberapa personil saja dari mereka yang masih laku,
itupun secara terpisah bukan lagi atas nama Smash, tetapi dikontrak per
individu. Entah kemana sekarang teman-teman mereka yang lain atau para
penggemar fanatik mereka yang acap kali histeris kala melihat mereka membawakan
tembang andalan mereka dulu. Masih menjadi sebuah misteri.
Tapi biarlah, toh saya juga tidak suka.
Saya bahkan tidak pernah memiliki ketertarikan dengan gaya musik apapun.
Selera musik saya mungkin bisa dibilang asal-asalan. Asal ada yang enak
okelah.. Begitu kiranya. Tapi dari semua daftar putra ehh.. daftar putar lagu
(bajakan) yang ada di Handphone kesayangan
saya, lagu-lagu karya Ebiet G. Ade-lah yang barangkali masih menjadi favorit
bukan hanya bagi telinga, tapi juga hati saya. Pada dasarnya saya suka karya
sastra. Dan lewat Ebiet-lah saya mengenal musik yang sesuai dengan kesukaan
saya. Bagi saya, Ebiet bukan hanya seorang penyanyi bersuara emas, tetapi sekaligus
seorang penulis syair yang hebat. Dari yang pernah saya baca, Ebiet
sesungguhnya memang seorang penulis pada awalnya. Tetapi, ia tidak terlalu
pandai mendeklamasikannya dan lebih memilih memusikalisasikan puisinya
tersebut. Sangat beruntung, Ebiet dianugerahi suara yang memadahi dan
musikalitas yang tinggi, sehingga puisi-puisinya berhasil memikat hati pendengar
lewat iringan musik dan nada yang barangkali sederhana namun indah. Ebiet G.
Ade kala mudanya bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib, E. H. Kartanegara, dan
Eko Tunas ( Mereka berempat menjadi 4E ) yang notabene mereka semua adalah
penulis.
Pria paruhbaya kelahiran Banjarnegara,
Jawa Tengah itu telah menelurkan album lagu yang berjumlah tidak kurang dari 22
dan album kompilasi yang jumlahnya sudah menyentuh angka 30!! Waah..!! Dan lagu yang telah melejitkan namanya adalah
‘Berita Kepada Kawan’. Siapa sih yang gak kenal lagu ini. Ketika kita mendengar
nama Ebiet, mungkin lagu yang paling melekat dengan nama itu ya.. Berita Kepada
Kawan. Dan bagi teman-teman yang belum tahu, lagu ini ditulis oleh Ebiet
sendiri, pada bulan Juni tahun 1978 setelah terjadi sebuah bencana gas beracun
di kota kelahirannya, atau lebih tepatnya di Dataran Tinggi Dieng yang
menewaskan banyak manusia dan hewan ternak kala itu. Ebiet sering menjadikan
fenomena nyata yang terjadi di Tanah Air ini sebagai inspirasinya dalam menulis
syair. Lalu seperti biasa, syair itu akan dengan cepat diubahnya menjadi lagu
merdu yang menyentuh hati. Selain ‘Berita Kepada Kawan’, Ebiet juga menulis
lagu berjudul ‘Sebuah Tragedi 1981’ tentang tenggelamnya KMP Tampomas II di
Kepulauan Masalembu, lagu ‘Masih Ada Waktu’ setelah tragedi kecelakaan kereta
api Bintaro, dan juga ketika Gunung Galunggung mengamuk pada tahun 1982, Ebiet
menulis lagu ‘Untuk Kita Renungkan’.
Teman-teman rahimakumullah.. saya adalah
bagian dari generasi yang hidup dimana saat itu bukanlah masa-masa kejayaan
Ebiet G. Ade sebagai seorang pelantun lagu. Saya hidup dimana Om Ebiet sudah
tidak banyak lagi muncul di layar kaca televisi atau sekedar mendengar
lagu-lagunya di angkot, sekolahan, radio, restourant,
Supermarket, sampai Minimarket (Block, copy, paste). Sangat sulit sekali. Yang jelas saya belum pernah mendengar
lagu Ebiet G. Ade diputar di halaman awal koran lokal. YA IYALAH..!
Ebiet G. Ade dan barangkali juga sederet
musisi lawas lainnya menjadikan orang seperti saya,
-anak tujuh belas tahunan (2015) memiliki selera musik yang agak nylampar dari lazimnya. Tapi bagaimanapun, musik adalah musik. Sesuatu yang di dengar bukan di lihat. Jika para seniman musik Tanah Air terus menerus menomorduakan kualitas vokal dan lebih menjual body atau tampang, maka mau dibawa kemana industri musik kita saudara-saudara!? Ehm...
-anak tujuh belas tahunan (2015) memiliki selera musik yang agak nylampar dari lazimnya. Tapi bagaimanapun, musik adalah musik. Sesuatu yang di dengar bukan di lihat. Jika para seniman musik Tanah Air terus menerus menomorduakan kualitas vokal dan lebih menjual body atau tampang, maka mau dibawa kemana industri musik kita saudara-saudara!? Ehm...
Baiklah, tulisan ini barangkali lebih
mirip jalan yang tak tahu dimana ujungnya. Tanpa bermaksut merendahkan pihak
manapun, saya berharap bahwa industri musik di negara kita kelak tidak mengalami degradasi kualitas jika dibanding
dengan masa keemasan seoang maestro, Ebiet G. Ade.
0 komentar:
Posting Komentar