Buah Perjuangan
Oleh : Iman Sri Nugroho
Oleh : Iman Sri Nugroho
“Apalagi Nak ? Ibu
kan sudah janji akhir bulan ini, Ibu akan berusaha carikan uang untuk itu.” Entah
sudah berapa kali Ibunya berjanji seperti itu. Ibunya tak juga mengerti betapa
malunya ia ketika diingatkan oleh gurunya soal uang sekolah yang sudah empat
bulan menunggak. Bagi keluarga Dahlan, mendapat uang untuk sekadar mengisi
perut sehari saja, itu sudah sebuah keberuntungan yang luar biasa. Tak mudah
memang. Bagaimana tidak, Ayahnya hanya seorang buruh serabutan yang pekerjaan
rutinnya tidak ada. Paling sering, Ayahnya diminta menggarap sepetak ladang
milik salah seorang juragan sapi di kampungnya. Sedangkan Ibunya sehari-hari
menjadi buruh cuci keluarga juragan sapi itu. Entah mungkin karena iba atau
apa, tapi kenyataannya hanya keluarga juragan sapi itulah yang mau berbaik
hati, memberi pekerjaan kepada keluarga malang itu. Ya, telah bertahun-tahun
keluarga miskin ini menjadi bahan gunjingan orang sekampung. Tentang hutangnya
di warung ini, warung itu. Belum lagi pinjaman yang diberi juragan sapi
dermawan yang ia sendiri sudah tidak tahu lagi berapa jumlahnya. Seakan semua
orang tau segala hal tentang betapa susahnya keluarga ini.
Ujian nasional
tinggal beberapa minggu lagi. Ini yang membuat hati Dahlan kaku. Betapa tidak,
teman-temannya kini hanya perlu fokus belajar untuk menghadapi ujian. Tapi
tidak dengannya. Kalau uang sekolah itu tidak bisa terbayar tepat sebelum hari
ujian itu berlangsung, itu artinya ia tidak dapat mencium wanginya kartu ujian
sebagai salah satu syarat mengikuti ujian nasional. Artinya pula, ia harus
memendam dalam-dalam dan membuang jauh-jauh mimpinya untuk merubah nasib
keluarganya dan mengangkat martabat kedua orang tuanya. Meskipun Dahlan di
sekolah sebenarnya adalah siswa yang sangat berprestasi, kalau uang ini tidak
dapat ia dan keluarganya penuhi, ingin bagaimana lagi. Tidak terlalu banyak
sebetulnya uang sekolah yang harus ia bayar. Tetapi dengan kondisi keluarga
yang demikian, tentu saja ini adalah sebuah masalah besar bagi keluarganya.
Terlebih untuk beribu angan dan masa depan Dahlan.
Sengaja Dahlan
menagih masalah ini kepada ibunya. Pada Ayahnya, ia tak tega. Sudah cukup
banyak beban yang harus ditanggung Ayahnya. Masih untung, Ayahnya masih bisa bekerja
semampunya. Sebab, berbagai penyakit serius mulai menggerogoti tubuh ayahnya
yang makin renta dan rapuh. Dahlan tentu tak ingin kesehatan Ayahnya menjadi
tumbal dari masalah yang ia hadapi di sekolah. Sudah cukup Ayahnya berjibaku
untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga dan menyelesaikan seluruh hutang
keluarga itu.
Tak pelak seluruh
masalah dan kondisi keluarganya yang memprihatinkan itu, menggugah niatnya
untuk turut mencari penghasilan untuk keluarganya. Paling tidak, penghasilannya
nanti dapat digunakan untuk membayar uang sekolah dan memperpanjang nafas
seluruh mimpinya. Baginya satu langkah kecil itu lebih berarti, daripada beribu
rencana. Hanya satu kalimat yang ia pegang, ‘man
jadda wa jada’. Betul saja, beberapa hari kemudian Dahlan benar-benar
memulai pekerjaannya. Ketika bel istirahat berbunyi, Dahlan lah siswa pertama
yang tiba di kantin sekolahnya. Bukan untuk memenuhi keinginan perut yang
menggebu hendak diisi, tetapi ia harus membasuh satu persatu, mencuci seluruh piring
penuh noda sisa makanan di salah satu kantin sekolah favorit itu. Mulai hari
itu, resmi sudah ia dipanggil tukang cuci piring oleh teman teman sekolahnya.
Di sekolah besar seperti itu, melihat orang seperti Dahlan adalah kesempatan
bagi sebagian murid untuk membully. Entah
apa yang ada di pikiran mereka, Dahlan tak begitu mempedulikannya.
Hari demi hari, Dahlan
lewati dengan tegar dan tabah. Tangan kasarnya sudah beberapa minggu ini
bekerja, menjamah piring-piring kotor di kantin sekolah. Tak terasa esok lah
hari terakhir itu. Hari dimana seluruh uang sekolah murid harus sudah terbayar
lunas untuk dapat mengikuti ujian nasional. Berkat usaha dan do’a Dahlan dan
tentu kedua orang tua terutama Ibunya yang tahu persis masalah ini,
terkumpullah uang impian itu. Uang yang beberapa minggu lalu berarti mustahil,
kini nyata tampak di depan mata Dahlan dan ibunya. Paling tidak, kini Dahlan
sudah dapat bernapas lega. Sebab, mimpi besarnya itu masih dapat terwujud.
Di hari ujian, Dahlan
mengerjakan soal dengan lancar. Wajar saja, ia adalah salah satu murid paling
berprestasi di sekolahnya yang juga berpredikat sebagai sekolah yang baik. Dan
di hari pengumuman hasil ujian, Dahlan bisa berbangga karena ia lulus dengan
predikat terbaik. Bahkan kemudian ia berhasil lolos seleksi program bidik misi,
sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas terbaik di Negeri ini. Itu
artinya ia dan keluarganya sudah tak perlu lagi bingung dengan biaya pendidikannya.
Air matanya mengalir di sudut kamar kecilnya. Sembari bersujud, ia menyadari sepenuhnya
bahwa semua ini tak mungkin terjadi tanpa campur tangan sang Ilahi.
Seorang anak dari
keluarga yang selama ini dikucilkan karena kemiskinannya, kini menjadi buah
bibir orang-orang di kampungnya karena keberhasilannya menembus salah satu universitas
terbaik di Negeri ini. Paling tidak itu dapat sedikit mengangkat derajat kedua
orang tuanya. Dan Dahlan tak akan berhenti bermimpi, ia tak akan pernah
berhenti. Karena ini belum berakhir, katanya.
Demak, 19 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar