Ahad, 19 April 2015
Bagian dari sebuah cerita yang lebih panjang
-Keceriaan anak-anak- Iman
Sri Nugroho
Jika kau berkunjung ke Masjid Agung Jawa
Tengah di Semarang, kau akan menemui enam buah payung raksasa yang menguncup
sepanjang hari. Terlihat kokoh dan gagah karena rajin di cat bagian luarnya.
Payung ini mirip dengan yang ada di Masjid Nabawi. Yang ada di bawahnya adalah
halaman berkeramik yang disiapkan untuk menampung jamaah shalat kalau kalau
meluap. Walaupun sebenarnya, aku yang sedang menatapnya kini belum pernah
melihat jamaah sebanyak itu, sampai memaksa pengurus masjid harus memekarkan
payungnya. Dan jika kau melewati halaman itu, maka kau harus melepas alas
kakimu. Karena meski sudah lama tak pernah digunakan lagi untuk ibadah, tapi
batas suci masjid ini tetap berada di ujung halaman itu. Jarak batas suci
sampai masjid tidak kurang dari lima puluh meter. Sungguh masjid yang besar.
Masjid ini juga
punya menara tinggi besar. Dengan menggunakan teropong yang tersedia di atasnya,
kau bisa melihat hampir seluruh sudut kota Atlas. Hari ini, langit berbaik hati
menampakkan wajah cerahnya. Mentari, sejak aku duduk di depan pintu masjid
megah ini tak henti-hentinya mencurahkan kehangatannya -meski tetap tidak cukup
mampu menghangatkan suasana hatiku yang tak menentu. Siang ini, mestinya aku
duduk di bangku kelasku. Menikmati wajah ceria teman-temanku, bergelut dengan
pemahaman-pemahaman baru, atau sekedar duduk basa basi sok memperhatikan
komat-kamit mulut teman-temanku ketika mereka presentasi. Terkadang pikiranku
suka pergi melarikan diri dari sekelumit hal yang semestinya penting di ruangan
menyenangkan itu. Tapi aku sejak pagi tadi justru bebas berada di masjid ini.
Ya.. bebas. Tanpa seragam melekat di badanku.
Seminggu lalu
setelah sekolah aku juga berkunjung ke masjid ini. Tapi baru saja sampai di
pintu masuk parkiran aku diusir. Alasannya menyakitkan. Hanya karena aku masih
mengenakan seragam sekolah. Aku bersumpah. Saat itu aku benar-benar sudah
pulang dari sekolah. Percuma, bapak paruh baya penjaga parkiran masjid tak mau
tahu. Memaksaku putar balik keluar, pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan itu
aku menyumpahi penjaga parkir dengan semua sumpah serapah. Hanya mau ke
masjid saja susah sekali! Dan hari ini aku kembali. Tanpa seragam sekolah.
Bahkan memang tanpa sekolah. Dan aku sekarang berhasil duduk menatap halaman
keramik masjid kebanggaan warga Jawa Tengah ini. Hidup sungguh kadang tak adil
bukan?
Halaman luas
masjid ini sekarang terlihat mengkilap. Mentari tak henti-hentinya memancarkan
sinar emasnya. Hari yang panas. Hari ini, jelas tidak ada anak sekolah yang
berkunjung ke masjid ini. Semua sibuk dengan urusan sekolah masing-masing. Yang
datang saat ini hanya beberapa orang. Aku sudah ada di depan masjid ini sejak
pintu ruang sholat utama masih tertutup. Dari pagi hingga menjelang siang,
bahkan aku tak mengubah posisi dudukku. Hanya sesekali bergerak meregangkan
kaki atau bagian tubuh kurusku yang lain. Komplek masjid ini memiliki ruang
serbaguna. Aku tahu, hari ini ruangan besar yang terletak di sebelah
utara masjid itu sedang digunakan untuk sebuah acara. Barangkali resepsi
pernikahan. Satu-dua tamu undangan menyempatkan mampir ke ruang utama sholat, tempat
aku duduk sekarang. Sekedar ingin tahu bagaimana interior masjid terkenal ini. Beberapa
diantaranya sempat melirikku. Aku acuh.
Di antara para
tamu itu anak-anak. Hei lihatlah! Ternyata aku tak sendiri. Mungkin bedanya
anak-anak itu, punya alasan yang lebih bisa diterima untuk berada di masjid
besar ini sekarang. Ah.. tapi siapa yang peduli. Aku masih berada pada posisi
yang sama sampai muadzin masjid ini menyerukan panggilan sucinya. Syair yang
indah. Aku bergegas.
Setengah satu
siang. Masjid ini semakin ramai dikunjungi orang. Entahlah. Beberapa bersama keluarga mereka. Mungkin
sedang berlibur. Atau barangkali termasuk tamu resepsi pernikahan di gedung
sebelah. Beberapa lagi hanya berdua. Dengan pasangannya. Halaman keramik masjid
ini semakin tampak mengkilap. Menyilaukan mata. Suasana ini tak kusangka justru
menjadi kesempatan bagi sebagian pengunjung untuk berfoto ria. Dengan latar
belakang payung besar, menara tinggi menjulang, dan halaman keramik berkilau
luas, sebenarnya dengan sedikit gaya saja sudah bisa membuat foto menjadi
sangat menarik. Beberapa dari mereka bahkan ada yang rela menginjakkan kaki
telanjangnya ke halaman keramik yang menyala
itu. Tak bisa lama-lama pasti. Mereka kembali sambil melangkah lebar.
Berjinjit. Penasaran dengan hasil bidikannya. Penasaran dengan hasil pengorbanannya. Lalu mengaduh. Panas.
Aku mengamatinya sambil memeluk lutut sekarang. Posisi baru. Beberapa diantara mereka yang sedang berfoto, adalah sepasang manusia yang sedang disatukan oleh sebuah rasa bahagia yang mereka sebut cinta. Aku tak yakin seluruh diantara mereka benar-benar sepasang suami-istri. Maksudku, berdua-duaan, berpelukan, bergandengan, dan apapun yang mereka lakukan saat berfoto dengan lawan jenis yang bukan pasangan sahnya, adalah sebuah ironi tersendiri di masjid agung ini.
Aku mengamatinya sambil memeluk lutut sekarang. Posisi baru. Beberapa diantara mereka yang sedang berfoto, adalah sepasang manusia yang sedang disatukan oleh sebuah rasa bahagia yang mereka sebut cinta. Aku tak yakin seluruh diantara mereka benar-benar sepasang suami-istri. Maksudku, berdua-duaan, berpelukan, bergandengan, dan apapun yang mereka lakukan saat berfoto dengan lawan jenis yang bukan pasangan sahnya, adalah sebuah ironi tersendiri di masjid agung ini.
Aku memalingkan
pandangan. Bosan. Menghela napas sebentar. Tampak dari kejauhan serombongan
anak-anak kecil berpakaian merah-merah, berkerumun menyerbu halaman keramik
luas masjid ini. Taman kanak-kanak rupanya. Menginjakkan kaki di halaman
keramik masjid, dua detik pertama mereka tampak masih bisa berjalan santai.
Belum tahu, untuk sesaat berikutnya melompat-lompat lucu. Semua lalu kembali ke
belakang, mengelus-elus bagian bawah kakinya. PANAAAS! Hei! Seorang anak perempuan justru meneruskan dua langkah
santainya tadi dengan berlari kencang. Nekat. Segera menuju ke bawah payung
besar paling dekat, untuk memijakkan kakinya di bayangan hitam sempitnya. Lumayan
pas menjadi tempat transit untuk
mengaduh-aduh. Sekarang belum genap pukul satu siang, menara masih pelit
mengeluarkan bayangannya. Sekarang anak itu membuat langkah-langkah kecil
setengah melompat di tempat. Uhh.. Pasti panas sekali.
Anak lain,
melihat dari ujung halaman. Masih menghitung-hitung, mereka-reka strategi yang
pas untuk menyeberangi halaman keramik luas ini. Satu anak kecil lagi. Berlari
menyusul temannya –orang pertama yang berani menerjang bara menyala ini, yang sekarang terduduk di bawah menara.
.......
.......
.......
Menunggu untuk diselesaikan..
0 komentar:
Posting Komentar